[ARTIKEL]
|
[2014]
|
[HIPERSENSITIVITAS]
|
REAKSI HIPERSENSITIVITAS
Hipersensitivitas
adalah reaksi hipersensitif yang merujuk
kepada reaksi berlebihan, tidak diinginkan (menimbulkan ketidaknyamanan dan
kadang-kadang berakibat fatal) dari sistem kekebalan tubuh. Bahan-bahan yang
menyebabkan hipersensitivitas disebut sebagai allergen. Pada keadaan normal, mekanisme
pertahanan tubuh baik humoral maupun selular tergantung pada aktivasi sel B dan
sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini,akan menimbulkan
suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas.
Menurut Gell dan Coombs ada 4 tipe
reaksi hipersensitif yaitu :
1.
Reaksi hipersensitif tipe I atau reaksi anafilaktik.
2.
Reaksi hipersensitif tipe II atau sitotoksik.
3.
Reaksi hipersensitif tipe III atau kompleks imun.
4.
Reaksi hipersensitif tipe IV atau reaksi yang diperantarai sel.
Berdasarkan kecepatan reaksinya,
tipe I, II dan III termasuk tipe cepat karena diperantarai oleh respon humoral
(melibatkan antibodi) dan tipe IV termasuk tipe lambat.
A.
HIPERSENSITIVITAS
TIPE I
Hipersensitifitas
tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau anafilaktik. Reaksi
ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan
saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala yang beragam, mulai
dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu reaksi berkisar antara 15-30
menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga dapat mengalami
keterlambatan awal hingga 10-12 jam. Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh
imunoglobulin
E
(IgE). Komponen seluler utama pada reaksi ini adalah mastosit
atau basofil.
Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping
darah, neutrofil, dan eosinofil.
Mekanisme reaksi Hipersensitivitas
Tipe I (Alergi)
Hipersensitivitas ini
adalah reaksi imunologis cepat yang terjadi hanya setelah satu menit kombinasi
antigen dan antibodi terikat oleh sel mast. Reaksi ini biasa disebut dengan
alergi, dan antigen yang memicunya disebut dengan alergen. Hipersensitivitas
immediate dapat terjadi sebagai kelainan sistemik atau sebagai reaksi lokal.
Biasanya, selama beberapa menit pasien akan shok yang dapat berakibat fatal.
Kebanyakan
reaksi hipersensitivitas ini dimediasi oleh antibodi IgE, aktivasi dari sel
mast, dan leukosit lainnya. Sel mast adalah derivat dari sumsum tulang blakang
yang terdistribusikan secara luas di jaringan. Sel mast terkumpul banyak di
dekat pembuluh darah, saraf, dan subephitelial tissue; yang memperjelas bahwa
reaksi hipersensitivitas biasa terjadidi daerah-daerah ini. Sel mast memiliki
granula sitoplasmic yang berisikan berbagai macam mediator aktif. Sel mast
dapat teraktivasi oleh ikatan silang dari IgE Fc receptor yang mempunya
afinitas tinggi; sel mast juga dapat teraktivasi oleh komplemen seperti C5a dan
C3a (disebut sebagai anaphylatoxin karena dapat menimbulkan reaksi seperti
anaphylaxis), reaksinya dengan mengikat pada reseptor di membran sel mast.
Basofil hampir sama dengan sel mast dilihat dari reseptor dan granula
sitoplasmiknya. Bedanya dengan sel mast adalah basofil tersebar di sirkulasi
darah. Reaksi yang diperankan oleh basofil dari hipersensitivitas ini masih
belum diketahui jelas yang pasti basofil akan tertarik ke daerah inflamasi
akibat dari granulasi sel mast.
Sel
TH2 memiliki peran utama dalam menginisiasi reaksi hipersensitivitas immediate
ini dengan menstimulasi produksi IgE dan mempromosikan inflmasi. Sel TH2 muncul
karena adanya presentasi dari antigen dengan sel T helper CD4+, mungkin oleh
sel dentritik yang menangkap antigen dari tempat awal masuknya. Respon yang
ditimbulkan akibat dari antigen dan stimuli lain, termasuk sitokin (IL4), sel T
akan berdiferensiasi menjadi sel TH2. Sel TH2 akan memproduksi sitokin dalam
jumlah besar (IL4, IL5, dan IL13). IL4 akan bereaksi terhadap sel B untuk
menstimulasi produksi dari IgE dan mempromosikan lebih banyak lagi sel TH2. IL5
akan terlibat dalam perkembangan dan pengaktivasian eosinofil, yang merupakan
efektor penting dalam hipersensitivitas ini. Efek dari IL13 adalah meningkatkan
produksi IgE dan menstimulasi produksi mukus pada sel epitel. Sel TH2 juga
memproduksi kemokin yang dapat menarik sel TH2 lebih banyak dan leukosit lain
kedalam situs reaksinya.
Sel
mast dan basofil memiliki reseptor dengan afinitas tinggi yang disebut FceRI,
yang speseifik terhadap IgE dan secara aktif berikattan dengan antibodi IgE.
Pertamakali, antigen (alergen) akan berikatan dengan antibodi IgE, lalu IgE
akan melekat pada sel mast. Ikatan IgE dengan reseptor Fce akan mengaktivasi
sinyal transduksi ke sitoplasma sel mast. Sinyal ini akan menyebabkan sel mast
berdegranulasi yang akan mengakibatkan pelepasan mediator aktif yang ada di
granula sel mast. Mediator-mediator inilah yang bertanggung jawab terhadap
munculnya gejala-gejala hipersensitivitas immediate ini, dan menyebabkan akan
terjadinya reaksi fase-lambat dari hipersensitivitas ini.
Sel mast dan basofil
pertama kali dikemukakan oleh Paul Ehrlich lebih dari 100 tahun yang lalu. Sel
ini mempunyai gambaran granula sitoplasma yang mencolok. Pada saat itu sel mast
dan basofil belum diketahui fungsinya. Beberapa waktu kemudian baru diketahui
bahwa sel-sel ini mempunyai peran penting pada reaksi hipersensitivitas tipe
cepat (reaksi tipe I) melalui mediator yang dikandungnya, yaitu histamin dan
zat peradangan lainnya.
Reaksi hipersensitivitas
tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi reaksi anafilaktik (tipe
Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk terjadinya suatu reaksi selular
yang berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE spesifik
yang berikatan dengan reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan alergen
yang bersangkutan.
Proses aktivasi sel mast
terjadi bila IgE atau reseptor spesifik yang lain pada permukaan sel mengikat
anafilatoksin, antigen lengkap atau kompleks kovalen hapten-protein. Proses
aktivasi ini akan membebaskan berbagai mediator peradangan yang menimbulkan
gejala alergi pada penderita, misalnya reaksi anafilaktik terhadap penisilin
atau gejala rinitis alergik akibat reaksi serbuk bunga.
Reaksi anafilaktoid
terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran IgE. Sebagai
contoh misalnya reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat kontras atau akibat
anafilatoksin yang dihasilkan pada proses aktivasi komplemen (lihat bab
mengenai komplemen).
Eosinofil berperan secara
tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui faktor kemotaktik
eosinofil-anafilaksis (ECF-A = eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis).
Zat ini merupakan salah satu dari preformed mediators yaitu mediator
yang sudah ada dalam granula sel mast selain histamin dan faktor kemotaktik
neutrofil (NCF = neutrophil chemotactic factor). Mediator yang
terbentuk kemudian merupakan metabolit asam arakidonat akibat degranulasi sel
mast yang berperan pada reaksi tipe I.
Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu fase
cepat dan fase lambat.
1. Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat
Reaksi hipersensitivitas tipe I fase
cepat biasanya terjadi beberapa menit setelah pajanan antigen yang sesuai.
Reaksi ini dapat bertahan dalam beberapa jam walaupun tanpa kontak dengan
alergen lagi. Setelah masa refrakter sel mast dan basofil yang berlangsung selama
beberapa jam, dapat terjadi resintesis mediator farmakologik reaksi
hipersensitivitas, yang kemudian dapat responsif lagi terhadap alergen.
2. Reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat
Mekanisme terjadinya reaksi
hipersensitivitas tipe I fase lambat ini belum jelas benar diketahui. Ternyata
sel mast masih merupakan sel yang menentukan terjadinya reaksi ini seperti
terbukti bahwa reaksi alergi tipe lambat jarang terjadi tanpa didahului reaksi
alergi fase cepat. Sel mast dapat membebaskan mediator kemotaktik dan sitokin
yang menarik sel radang ke tempat terjadinya reaksi alergi. Mediator fase aktif
dari sel mast tersebut akan meningkatkan permeabilitas kapiler yang
meningkatkan sel radang.
Limfosit
mungkin memegang peranan dalam timbulnya reaksi alergi fase lambat dibandingkan
dengan sel mast. Limfosit dapat melepaskan histamin releasing factor dan
sitokin lainnya yang akan meningkatkan pelepasan mediator-mediator dari sel
mast dan sel lain.
Eosinofil
dapat memproduksi protein sitotoksik seperti major basic protein (MBP)
afau eosinophil cationic protein (ECP). Makrofag dan neutrofil melepas
faktor kemotaktik, sitokin, oksigen radikal bebas, serta enzim yang berperan di
dalam peradangan. Neutrofil adalah sel yang pertama berada pada infiltrat
peradangan setelah reaksi alergi fase cepat dalam keadaan teraktivasi yang
selanjutnya akan menyebabkan kerusakan jaringan dan menarik sel lain, terutama
eosinofil.
Mediator yang sudah ada
dalam granula sel mast
Terdapat 3 jenis mediator yang penting yaitu histamin,
eosinophil chemotactic factor of anaphylactic (ECF-A), dan neutrophil
chemoctatic factor (NCF)
1.
Histamin
Histamin
dibentuk dari asam amino histidin dengan perantaraan enzim histidin dekarboksilase.
Setelah dibebaskan, histamin dengan cepat dipecah secara enzimatik serta berada
dalam jumlah kecil dalam cairan jaringan dan plasma. Kadar normal dalam plasma
adalah kurang dari 1 ng/μL akan tetapi dapat meningkat sampai 1-2 ng/μL setelah
uji provokasi dengan alergen. Gejala yang timbul akibat histamin dapat terjadi
dalam beberapa menit berupa rangsangan terhadap reseptor saraf iritan,
kontraksi otot polos, serta peningkatan permeabilitas vaskular.
Manifestasi
klinis pada berbagai organ tubuh bervariasi. Pada hidung timbul rasa gatal,
hipersekresi dan tersumbat. Histamin yang diberikan secara inhalasi dapat
menimbulkan kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi.
Gejala kulit adalah reaksi gatal berupa wheal and flare, dan pada
saluran cerna adalah hipersekresi asam lambung, kejang usus, dan diare.
Histamin mempunyai peran kecil pada asma, karena itu antihistamin hanya dapat
mencegah sebagian gejala alergi pada mata, hidung dan kulit, tetapi tidak pada
bronkus.
Kadar
histamin yang meninggi dalam plasma dapat menimbulkan gejala sistemik berat
(anafilaksis). Histamin mempunyai peranan penting pada reaksi fase awal setelah
kontak dengan alergen (terutama pada mata, hidung dan kulit). Pada reaksi fase
lambat, histamin membantu timbulnya reaksi inflamasi dengan cara memudahkan
migrasi imunoglobulin dan sel peradangan ke jaringan. Fungsi ini mungkin
bermanfaat pada keadaan infeksi. Fungsi histamin dalam keadaan normal saat ini
belum banyak diketahui kecuali fungsi pada sekresi lambung. Diduga histamin
mempunyai peran dalam regulasi tonus mikrovaskular. Melalui reseptor H2
diperkirakan histamin juga mempunyai efek modulasi respons beberapa sel
termasuk limfosit.
2. Faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A)
Mediator
ini mempunyai efek mengumpulkan dan menahan eosinofil di tempat reaksi radang
yang diperan oleh IgE (alergi). ECF-A merupakan tetrapeptida yang sudah
terbentuk dan tersedia dalam granulasi sel mast dan akan segera dibebaskan pada
waktu degranulasi (pada basofil segera dibentuk setelah kontak dengan alergen).
Mediator
lain yang juga bersifat kemotaktik untuk eosinofil ialah leukotrien LTB4 yang
terdapat dalam beberapa hari. Walaupun eosinofilia merupakan hal yang khas pada
penyakit alergi, tetapi tidak selalu patognomonik untuk keterlibatan sel mast
atau basofil karena ECF-A dapat juga dibebaskan dari sel yang tidak mengikat
IgE.
3. Faktor kemotaktik neutrofil (NCF)
NCF
(neutrophyl chemotactic factor) dapat ditemukan pada supernatan
fragmen paru manusia setelah provokasi dengan alergen tertentu. Keadaan ini
terjadi dalam beberapa menit dalam sirkulasi penderita asma setelah provokasi
inhalasi dengan alergen atau setelah timbulnya urtikaria fisik (dingin, panas
atau sinar matahari). Oleh karena mediator ini terbentuk dengan cepat maka
diduga ia merupakan mediator primer. Mediator tersebut mungkin pula berperan
pada reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat yang akan menyebabkan
banyaknya neutrofil di tempat reaksi. Leukotrien LTB4 juga bersifat kemotaktik
terhadap neutrofil.
B.
HIPERSENSITIVITAS TIPE II
Reaksi
hipersensitifitas tipe II disebut juga dengan reaksi sitotoksik, atau
sitolisis. Reaksi ini melibatkan antibodi IgG dan IgM yang bekerja pada
antigen yang terdapat di permukaan
sel atau jaringan tertentu. Antigen yang berikatan di sel tertentu
bisa berupa mikroba atau molekul kecil lain (hapten). Ketika pertama kali
datang, antigen tersebut akan mensensitisasi sel B untuk menghasilkan antibodi
IgG dan IgM. Ketika terjadi pemaparan berikutnya oleh antigen yang sama di
permukaan sel sasaran, IgG dan IgM ini akan berikatan dengan antigen tersebut.
Ketika sel efektor (seperti makrofag, netrofil, monosit, sel T cytotoxic
ataupun sel NK) mendekat, kompleks antigen-antibodi di permukaan sel sasaran
tersebut akan dihancurkan olehnya. Hal ini mungkin dapat menyebabkan kerusakan
pada sel sasaran itu sendiri, sehingga itulah kenapa reaksi ini disebut reaksi
sitotoksik atau sitolisis.
Prosesnya
ada 2 jenis mekanisme yang mungkin, yaitu :
1. Proses sitolisis oleh sel efektor. Antibodi IgG/IgM
yang melekat dengan antigen sasaran, jika dihinggapi sel efektor, ia (antibodi)
akan berinteraksi dengan reseptor Fc yang terdapat di permukaan sel efektor
itu. Akibatnya, sel efektor melepaskan semacam zat toksik yang akan menginduksi
kematian sel sasaran. Mekanisme ini disebut ADCC (Antibody Dependent Cellular
Cytotoxicity).
Mekanisme
reaksi Hipersensitivitas Tipe II melalui jalur Antibody Dependent Cellular
Cytotoxicity (ADCC)
2.
Proses
sitolisis oleh komplemen. Kompleks antigen-antibodi di permukaan sel sasaran
didatangi oleh komplemen C1qrs, berikatan dan merangsang terjadinya aktivasi
komplemen jalur klasik yang akan berujung kepada kehancuran sel.
Mekanisme reaksi
Hipersensitivitas Tipe II melalui jalur aktifitas
komplemen
C. HIPERSENSITIVITAS TIPE III
Reaksi tipe III disebut juga
reaksi kompleks imun adalah reaksi yang terjadi bila kompleks antigen-antibodi
ditemukan dalam jaringan atau sirkulasi atau dinding pembuluh darah dan mengaktifkan
komplemen. Antibodi yang bisa digunakan sejenis IgM atau IgG sedangkan
komplemen yang diaktifkan kemudian melepas faktor kemotatik makrofag. Faktor
kemotatik yang ini akan menyebabkan pemasukan leukosit-leukosit PMN yang mulai
memfagositosis kompleks-kompleks imun. Reaksi ini juga mengakibatkan pelepasan
zat-zat ekstraselular yang berasal dari granula-granula polimorf, yakni berupa
enzim proteolitik, dan enzim-enzim pembentukan kinin.
Namun, kadang-kadang, kehadiran bakteri, virus,
lingkungan, atau antigen (spora
fungi, bahan sayuran, atau hewan) yang
persisten akan membuat tubuh secara otomatis memproduksi antibodi terhadap
senyawa asing tersebut sehingga terjadi pengendapan kompleks antigen-antibodi
secara terus-menerus. Hal ini juga terjadi pada penderita penyakit autoimun. Pengendapan kompleks
antigen-antibodi tersebut akan menyebar pada membran sekresi aktif dan di dalam
saluran kecil sehingga dapat memengaruhi beberapa organ
seperti kulit, ginjal, paru-paru, sendi,
atau dalam bagian koroid pleksus otak.
Penyebab reaksi hipersensitivitas tipe III yang terjadi terdiri dari
:
1. Infeksi persisten
Pada infeksi
ini terdapat antigen mikroba, dimana tempat kompleks mengendap adalah organ
yang diinfektif dan ginjal.
2. Autoimunitas
Pada reaksi
ini terdapat antigen sendiri, dimana tempat kompleks mengendap adalah ginjal,
sendi, dan pembuluh darah.
3. Ekstrinsik
Pada reaksi
ini, antigen yang berpengaruh adalah antigen lingkungan. Dimana tempat kompleks
yang mengendap adalah paru.
Pada reaksi ini, antigen
yang berpengaruh adalah antigen lingkungan. Dimana tempat kompleks yang
mengendap adalah paru.Reaksi hipersensitivitas tipe III sebagai bentuk
penggabungan bentuk antigen dan antibodi dalam tubuh akan mengakibatkan reaksi
peradangan akut. Jika komplemen diikat, anafilaktoksin akan dilepaskan sebagai
hasil pemecahan C3 dan C5 dan ini akan menyebabkan pelepasan histamin serta
perubahan permeabilitas pembuluh darah. Faktor-faktor kemotaktik juga
dihasilkan, ini akan menyebabkan pemasukan leukosit-leukosit PMN yang mulai
menfagositosis kompleks-kompleks imun. Deretan reaksi diatas juga mengakibatkan
pelepasan zat-zat ekstraselular yang berasal dari granula-granula polimorf
yakni berupa enzim-enzim proteolitik (termasuk kolagenase dan protein-protein
netral), enzim-enzim pembentukan kinin protein-protein polikationik yang
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah melalui mekanisme mastolitik atau
histamin bebas. Hal ini akan merusak jaringan setempat dan memperkuat reaksi
peradangan yang ditimbulkan.
Kerusakan lebih lanjut
dapat disebabkan oleh reaksi lisis dimana C567 yang telah diaktifkan menyerang
sel-sel disekitarnya dan mengikat C89. Dalam keadaan tertentu, trombosit akan
menggumpal dengan dua konsekuensi, yaitu menjadi sumber yang menyediakan
zat-zat amina vasoaktif dan juga membentuk mikrotrombi yang dapat mengakibatkan
iskemia setempat.
Kompleks
antigen-antibodi dapat mengaktifkan beberapa sistem imun sebagai berikut :
1. Aktivasi komplemen
2.
Melepaskan
anafilaktoksin (C3a,C5a) yang merangsang mastosit untuk melepas histamine
3.
Melepas
faktor kemotaktik (C3a,C5a,C5-6-7) mengerahkan polimorf yang melepas enzim
proteolitik dan enzim polikationik
4.
Menimbulkan
agregasi trombosit
5.
Menimbulkan
mikrotrombi
6.
Melepas amin
vasoaktif
7.
Mengaktifkan
makrofag
8.
Melepas IL-1
dan produk lainnya
Pada hipersensitivitas
tipe III terdaapt dua bentuk reaksi, yaitu :
1.
Reaksi
Arthus
Maurice Arthus menemukan
bahwa penyuntikan larutan antigen secara intradermal pada kelinci yang telah
dibuat hiperimun dengan antibodi konsentrasi tinggi akan menghasilkan reaksi
eritema dan edema, yang mencapai puncak setelah 3-8 jam dan kemudian
menghilang. Lesi bercirikan adanya peningkatan infiltrasi leukosit-leukosit
PMN. Hal ini disebut fenomena Arthus yang merupakan bentuk reaksi kompleks
imun. Reaksi Arthus di dinding bronkus atau alveoli diduga dapat menimbulkan
reaksi asma lambat yang terjadi 7-8 jam setelah inhalasi antigen.
Reaksi Arthus ini
biasanya memerlukan antibodi dan antigen dalam jumlah besar. Antigen yang
disuntikkan akan memebentuk kompleks yang tidak larut dalam sirkulasi atau
mengendap pada dinding pembuluh darah. Bila agregat besar, komplemen mulai
diaktifkan. C3a dan C5a yang terbentuk meningkatkan permeabilitas pembuluh
darah menjadi edema. Komponen lain yang bereperan adalah fakor kemotaktik. Neutrofil
dan trombosit mulai menimbun di tempat reaksi dan menimbulkan stasisi dan
obstruksi total aliran darah. Neutrofil yang diaktifkan memakan kompleks imun
dan bersama dengan trombosit yang digumpalkan melepas berbagai bahan seperti
protease, kolagenase, dan bahan vasoaktif.
2.
Reaksi serum
sickness
Istilah ini berasal dari
pirquet dan Schick yang menemukannya sebagai konsekuensi imunisasi pasif pada
pengobatan infeksi seperti difteri dan tetanus dengan antiserum asal kuda.
Penyuntikan serum asing dalam jumlah besar digunakan untuk bermacam-macam
tujuan pengobatan. Hal ini biasanya akan menimbulkan keadaan yang dikenal
sebagai penyakit serum kira-kira 8 hari setelah penyuntikan. Pada keadaan ini
dapat dijumpai kenaikan suhu, pembengkakan kelenjar-kelenjar limpa, ruam urtika
yang tersebar luas, sendi-sendi yang bengkak dan sakit yang dihubungkan dengan
konsentrasi komplemen serum rendah, dan mungkin juga ditemui albuminaria
sementara.
Pada berbagai infeksi,
atas dasar yang belum jelas, dibentuk Ig yang kemudian memberikan reaksi silang
dengan beberapa bahan jaringan normal. Hal ini kemudian yang menimbulkan reaksi disertai
dengan komplek imun. Contoh dari
reaksi ini adalah :
1. Demam reuma
Infeksi streptococ golongan A dapat
menimbulkan inflamasi dan kerusakan jantung, sendi, dan ginjal. Berbagai
antigen dalam membran streptococ bereaksi silang dengan antigen dari
otot jantung, tulang rawan, dan membran glomerulus. Diduga antibodi terhadap streptococ
mengikat antigen jaringan normal tersebut dan mengakibatkan inflamasi.
2. Artritis rheumatoid
Kompleks yang dibentuk dari ikatan antara
faktor rheumatoid (anti IgG yang berupa IgM) dengan Fc dari IgG akan
menimbulkan inflamasi di sendi dan kerusakan yang khas.
3. Infeksi lain
Pada beberapa penyakit infeksi lain seperti
malaria dan lepra, antigen mengikat Ig dan membentuk kompleks imun yang
ditimbun di beberapa tempat.
4. Farmer’s lung
Pada orang yang rentan, pajanan terhadap
jerami yang mengandung banyak spora actinomycete termofilik dapat menimbulkan
gangguan pernafasan pneumonitis yang terjadi 6-8 jam setelah pajanan. Pada
tubuh orang tersebut, diproduksi banyak IgG yang spesifik terhadap actynomycete
termofilik dan membentuk kompleks antigen-antibodi yang mengendap di paru-paru.
Mekanisme reaksi Hipersensitivitas Tipe III (Imun
Kompleks)
D.
HIPERSENSITIVITAS
TIPE IV
Pada
reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan III yang berperan adalah antibodi
(imunitas humoral), sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau
dikenal sebagai imunitas seluler. Imunitas selular merupakan mekanisme utama
respons terhadap berbagai macam mikroba, termasuk patogen intrasel seperti
Mycobacterium tuberculosis dan virus, serta agen ekstrasel seperti protozoa,
fungi, dan parasit. Namun, proses ini juga dapat mengakibatkan kematian sel dan
jejas jaringan, baik akibat pembersihan infeksi yang normal ataupun sebagai
respons terhadap antigen sendiri (pada penyakit autoimun). Hipersensitivitas
tipe IV diperantarai oleh sel T tersensitisasi secara khusus bukan antibodi dan
dibagi lebih lanjut menjadi dua tipe dasar :
1. hipersensitivitas tipe lambat, diinisiasi oleh sel T
CD4+
2. sitotoksisitas sel langsung, diperantarai olehsel T
CD8+.
Pada hipersensitivitas
tipe lambat, sel T CD4+ tipe TH1 menyekresi sitokin sehingga menyebabkan adanya
perekrutan sel lain, terutama makrofag, yang merupakan sel efektor utama. Pada
sitotoksisitas seluler, sel T CD8+ sitoksik menjalankan fungsi efektor.
Hipersensitivitas tipe lambat (DTH-Delayed-Tipe
Hypersensitivity)
Contoh klasik DTH adalah
reaksi tuberkulin. Delapan hingga 12 jam setelah injeksi tuberkulin intrakutan,
muncul suatu area eritema dan indurasi setempat, dan mencapai puncaknya
(biasanya berdiameter 1 hingga 2 cm) dalam waktu 24 hingga 72 jam (sehingga digunakan
kata sifat delayed [lambat/ tertunda]) dan setelah itu akan mereda secara
perlahan.secara histologis , reaksi DTH ditandai dengan penumpukan sel helper-T
CD4+ perivaskular (“seperti manset”) dan makrofag dalam jumlah yang lebih
sedikit. Sekresi lokal sitokin oleh sel radang mononuklear ini disertai dengan
peningkatan permeabilitas mikrovaskular, sehingga menimbulkan edema dermis dan
pengendapan fibrin; penyebab utama indurasi jaringan dalam respons ini adalah
deposisi fibrin. Respons tuberkulin digunakan untuk menyaring individu dalam
populasi yang pernah terpejan tuberkulosis sehingga mempunyai sel T memori
dalam sirkulasi. Lebih khusus lagi, imunosupresi atau menghilangnya sel T CD4+
(misalnya, akibat HIV) dapat menimbulkan respons tuberkulin yang negatif,
bahkan bila terdapat suatu infeksi yang berat.
Limfosit CD4+ mengenali
antigen peptida dari basil tuberkel dan juga antigen kelas II pada permukaan
monosit atau sel dendrit yang telah memproses antigen mikobakterium tersebut.
Proses ini membentuk sel CD4+ tipe TH1 tersensitisasi yang tetap berada di
dalam sirkulasi selama bertahun-tahun. Masih belum jelas mengapa antigen
tersebut mempunyai kecendurungan untuk menginduksi respons TH1, meskipun
lingkungan sitokin yang mengaktivasi sel T naïf tersebut tampaknya sesuai. Saat
dilakukan injeksi kutan tuberkulin berikutnya pada orang tersebut, sel memori
memberikan respons kepada antigen yang telah diproses pada APC dan akan
diaktivasi (mengalami transformasi dan proliferasi yang luar biasa), disertai dengan
sekresi sitokin TH1. Sitokin TH1 inilah yang akhirnya bertanggungjawab untuk
mengendalikan perkembangan respons DHT. Secara keseluruhan, sitokin yang paling
bersesuaian dalam proses tersebut adalah sebagai berikut :
1. IL-12 merupakan suatu sitokin yang dihasilkan oleh
makrofag setelah interaksi awal dengan basil tuberkel. IL-12 sangat penting
untuk induksi DTH karena merupakan sitokin utama yang mengarahkan diferensiasi
sel TH1; selanjutnya, sel TH1 merupakan sumber sitokin lain yang tercantum di
bawah. IL-12 juga merupakan penginduksi sekresi IFN-γ oleh sel T dan sel NK
yang poten.
2. IFN-γ mempunyai berbagai macam efek dan merupakan
mediator DTH yang paling penting. IFN-γ merupakan aktivator makrofag yang
sangat poten, yang meningkatkan produksi makrofag IL-12. Makrofag teraktivasi
mengeluarkan lebih banyak molekul kelas II pada permukaannya sehingga
meningkatkan kemampuan penyajian antigen. Makrofag ini juga mempunyai aktivitas
fagositik dan mikrobisida yang meningkat, demikian pula dengan kemampuannya membunuh
sel tumor. Makrofag teraktivasi menyekresi beberapa faktor pertumbuhan
polipeptida, termasuk faktor pertumbuhan yang berasal dari trombosit (PDGF) dan
TGF-α, yang merangsang proliferasi fibroblas dan meningkatkan sintesis kolagen.
Secara ringkas, aktivitas IFN-γ meningkatkan kemampuan makrofag untuk membasmi
agen penyerangan; jika aktivasi makrofag terus berlangsung, akan terjadi
fibrosis.
3. IL-2 menyebabkan proliferasi sel T yang telah
terakumulasi pada tempat DTH. Yang termasuk dalam infiltrat ini adalah
kira-kira 10% sel CD4+ yang antigen-spesifik, meskipun sebagian besar adalah
sel T “penonton” yang tidak spesifik untuk agen penyerang asal.
4. TNF dan limfotoksin adalah sitokin yang menggunakan
efek pentingnya pada sel endotel:
a.
meningkatnya
sekresi nitrit oksida dan prostasiklin, yang membantu peningkatan aliran darah
melalui vasodilatasi local
b.
meningkatnya
pengeluaran selektin-E, yaitu suatu molekul adhesi yang meningkatkan perlekatan
sel mononuclear
c.
induksi dan
sekresi faktor kemotaksis seperti IL-8. Perubahan ini secara bersama memudahkan
keluarnya limfosit dan monosit pada lokasi terjadinya respon DHT.
Granulomatosa adalah
bentuk khusus DHT yang terjadi pada saat antigen bersifat persisten dan/ atau
tidak dapat didegradasi. Infiltrate awal sel T CD4+ perivaskular secara
progresif digantikan oleh makrofag dalam waktu 2 hingga 3 minggu; makrofag yang
terakumulasi ini secara khusus menunjukkan bukti morfologis adanya aktivitas,
yaitu semakin membesar , memipih, dan eosinofilik (disebut sebagai sel epiteloid).
Sel epiteloid kadang-kadang bergabung di bawah pengaruh sitokin tertentu
(misalnya, IFN-γ) untuk membentuk suatusel raksasa(giant cells) berinti banyak.
Suatu agregat mikroskopis sel epiteloid secara khusus dikelilingi oleh
lingkaran limfosit, yang disebutgranuloma, dan polanya disebut sebagai
inflamasi granulomatosa. Pada dasarnya, proses tersebur sama dengan proses yang
digambarkan untuk respons DHT lainnya. Granuloma yang lebih dahulu terbentuk
membentuk suatu sabuk rapat fibroblast dan jaringan ikat. Pengenalan terhadap
suatu granuloma mempunyai kepentingan diagnostik karena hanya ada sejumlah
kecil kondisi yang dapat menyebabkannya.
DHT merupakan suatu
mekanisme pertahanan utama yang melawan berbagai patogen intrasel, yang
meliputi mikobakterium, fungus, dan parasit tertentu, dan dapat pula terlibat
dalam penolakan serta imunitas tumor. Peran utama sel T CD4+ dalam
hipersensitivitas tipe lambat tampak jelas pada penderita AIDS. Karena
kehilangan sel CD4+, respons penjamu terhadap patogen ekstrasel, seperti
Mycobacterium tuberculosis, akan sangat terganggu. Bakteri akan dimangsa oleh
makrofag, tetapi tidak dibunuh, dan sebagai pengganti pembentukan granuloma,
terjadi akumulasi makrofag yang tidak teraktivasi yang sulit untuk mengatasi
mikroba yang menginvasi.
Selain bermanfaat karena
peran protektifnya, DHT dapat pula menyebabkan suatu penyakit. Dermatitis
kontak adalah salah satu contoh jejas jaringan yang diakibatkan oleh
hipersensitivitas lambat. Penyakit ini dibangkitkan melalui kontak dengan
pentadesilkatekol (juga dikenal sebagai urushiol, komponen aktif poison ivy
atao poisin oak) pada penjamu yang tersensitisasi dan muncul sebagai suatu
dermatitis vesikularis. Mekanisme dasarnya sama dengan mekanisme pada
sensitivitas tuberculin. Pajanan ulang terhadap tanaman tersebut, sel CD4+ TH1
tersensitisasi akan berakumulasi dalam dermis dan bermigrasi menuju antigen yag
berada di dalam epidermis. Di tempat ini sel tersebut melepaskan sitokin yang
merusak keratinosit, menyebabkan terpisahnya sel ini dan terjadi pembentukan
suatu vesikel intradermal.
Sitotoksisitas Yang Diperantarai Sel T
Pada
pembentukan hipersensitivitas tipe IV ini, sel T CD8+ tersensitisasi membunuh
sel target yang membawa antigen. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, molekul
MHC tipe I berikatan dengan peptida virus intrasel dan menyajikannya pada
limfosit T CD8+. Sel efektor CD8+, yang disebut limfosit T sitotoksik (CTL,
cytotoxic T-lymphocytes), yang berperan penting dalam resistensi terhadap
infeksi virus. Pelisisan sel terinfeksi sebelumnya terjadi replikasi virus yang
lengkap pada akhirnya menyebabkan penghilangan infeksi. Diyakini bahwa banyak
peptida yang berhubungan dengan tumor muncul pula pada permukaan sel tumor
sehingga CTL dapat pula terlibat dalam imunitas tumor.
Telah
terlihat adanya dua mekanisme pokok pembunuhan oleh sel CTL: (1) pembunuhan
yang bergantung pada perforin-granzim dan (2) pembunuhan yang bergantung pada
ligan Fas- Fas. Perforin dan granzim adalah mediator terlarut yang terkandung
dalam granula CTL, yang menyerupai lisosom. Sesuai dengan namanya, perforin
melubangi membran plasma pada sel target; hal tersebut dilakukan dengan insersi
dan polimerisasi molekul perforin untuk membentuk suatu pori. Pori-pori ini
memungkinkan air memasuki sel dan akhirnya menyebabkan lisi osmotik. Granula
limfosit juga mengandung berbagai protease yang disebut dengangranzim, yang
dikirimkan ke dalam sel target melalui pori-pori perforin. Begitu sampai ke
dalam sel, granzim mengaktifkan apoptosis sel target. CTL teraktivasi juga
mengeluarkan ligan Fas (suatu molekul yang homolog dengan TNF), yang berikatan
dengan Fas pada sel target. Interaksi ini menyebabkan apoptosis. Selain
imunitasvirus dan tumor, CTL yang diarahkann untuk melawan antigen
histokompatibilitas permukaan sel juga berperan penting dalam penolakan
Ada 4 jenis
reaksi hipersensitivitas tipe IV yaitu :
1.
Hipersensitivitas Jones Mole (Reaksi JM)
Reaksi JM ditandai oleh
adanya infiltrasi basofil di bawah epidermis. Hal tersebut biasanya ditimbulkan
oleh antigen yang larut dan disebabkan oleh limfosit yang peka terhadap
siklofosfamid. Reaksi JM atau Cutaneous Basophil Hypersensitivity (CBH)
merupakan bentuk CMI yang tidak biasa dan telah ditemukan pada manusia sesudah
suntikan antigen intradermal yang berulang-ulang. Reaksi biasanya terjadi
sesudah 24 jam tetapi hanya berupa eritem tanpa indurasi yang merupakan ciri
dari CMI. Eritem itu terdiri atas infiltrasi sel basofil. Mekanisme sebenarnya
masih belum diketahui. Kelinci yang digigit tungau menunjukkan reaksi CBH yang
berat di tempat tungau menempel. Basofil kemudian melepas mediator yang
farmakologik aktif dari granulanya yang dapat mematikan dan melepaskan tungau
tersebut. Basofil telah ditemukan pula pada dermatitis kontak yang disebabkan
allergen seperti poison ivy penolakan ginjal dan beberapa bentuk
konjungtivitis. Hal-hal tersebut di atas menunjukkan bahwa basofil mempunyai
peranan dalam penyakit hipersensitivitas.
2.
Hipersensitivitas Kontak dan dermatitis kontak
Dermatitis kontak
dikenal dalam klinik sebagai dermatitis yang timbul pada titik tempat kontak
dengan alergen. Reaksi maksimal terjadi setelah 48 jam dan merupakan reaksi
epidermal. Sel Langerhans sebagai Antigen Presenting Cell (APC) memegang
peranan pada reaksi ini. Innokulasi (penyuntikkan) melalui kulit, cenderung
untuk merangsang perkembangan reaksi sel-T dan reaksi-reaksi tipe lambat yang
sering kali disebabkan oleh benda-benda asing yang dapat mengadakan ikatan
dengan unsur-unsur tubuh untuk membentuk antigen-antigen baru. Oleh karena itu,
hipersensitivitas kontak dapat terjadi pada orang-orang yang menjadi peka
karena pekerjaan yang berhubungan dengan bahan-bahan kimia seperti prikil
klorida dan kromat. Kontak dengan antigen mengakibatkan ekspansi klon sel-T
yang mampu mengenal antigen tersebut dan kontak ulang menimbulkan respon
seperti yang terjadi pada CMI. Kelainan lain yang terjadi ialah pelepasan sel
epitel (spongiosis) menimbulkan infiltrasi sel efektor. Hal ini menimbulkan
dikeluarkannya cairan dan terbentuknya gelembung.
3.
Reaksi Tuberkulin
Reaksi tuberculin adalah
reaksi dermal yang berbeda dengan reaksi dermatitis kontak dan terjadi 20 jam
setelah terpajan dengan antigen. Reaksi terdiri atas infiltrasi sel mononuklier
(50% limfosit dan sisanya monosit). Setelah 48 jam timbul infiltrasi limfosit
dalam jumlah besar di sekitar pembuluh darah yang merusak hubungan serat-serat
kolagen kulit. Dalam beberapa hal antigen dimusnahkan dengan cepat sehinga
menimbulkan kerusakan. Dilain hal terjadi hal-hal seperti yang terlihat sebagai
konsekuensi CMI. Kelainan kulit yang khas pada penyakit cacar, campak, dan
herpes ditimbulkan oleh karena CMI terhadap virus ditambah dengan kerusakan sel
yang diinfektif virus oleh sel-Tc.
4.
Reaksi Granuloma
Menyusul respon akut
terjadi influks monosit, neutrofil dan limfosit ke jaringan. Bila keadaan
menjadi terkontrol, neutrofil tidak dikerahkan lagi berdegenerasi. Selanjutnya
dikerahkan sel mononuklier. Pada stadium ini, dikerahkan monosit, makrofak,
limfosit dan sel plasma yang memberikan gambaran patologik dari inflamasi
kronik
Mekanisme reaksi Hipersensitivitas
Tipe IV atau reaksi yang diperantarai sel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar