Selasa, 10 Juni 2014

Hipersensitivitas



[ARTIKEL]

[2014]
[HIPERSENSITIVITAS]
    
    

 



REAKSI HIPERSENSITIVITAS


Hipersensitivitas adalah reaksi hipersensitif yang merujuk kepada reaksi berlebihan, tidak diinginkan (menimbulkan ketidaknyamanan dan kadang-kadang berakibat fatal) dari sistem kekebalan tubuh. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas disebut sebagai allergen. Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini,akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas.
Menurut Gell dan Coombs ada 4 tipe reaksi hipersensitif yaitu :
1.      Reaksi hipersensitif tipe I atau reaksi anafilaktik.
2.      Reaksi hipersensitif tipe II atau sitotoksik.
3.      Reaksi hipersensitif tipe III atau kompleks imun.
4.      Reaksi hipersensitif tipe IV atau reaksi yang diperantarai sel.
Berdasarkan kecepatan reaksinya, tipe I, II dan III termasuk tipe cepat karena diperantarai oleh respon humoral (melibatkan antibodi) dan tipe IV termasuk tipe lambat.

A.    HIPERSENSITIVITAS TIPE I
                        Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau anafilaktik. Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam. Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada reaksi ini adalah mastosit atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping darah, neutrofil, dan eosinofil.
Mekanisme reaksi Hipersensitivitas Tipe I (Alergi)

                       


                        Hipersensitivitas ini adalah reaksi imunologis cepat yang terjadi hanya setelah satu menit kombinasi antigen dan antibodi terikat oleh sel mast. Reaksi ini biasa disebut dengan alergi, dan antigen yang memicunya disebut dengan alergen. Hipersensitivitas immediate dapat terjadi sebagai kelainan sistemik atau sebagai reaksi lokal. Biasanya, selama beberapa menit pasien akan shok yang dapat berakibat fatal.
                        Kebanyakan reaksi hipersensitivitas ini dimediasi oleh antibodi IgE, aktivasi dari sel mast, dan leukosit lainnya. Sel mast adalah derivat dari sumsum tulang blakang yang terdistribusikan secara luas di jaringan. Sel mast terkumpul banyak di dekat pembuluh darah, saraf, dan subephitelial tissue; yang memperjelas bahwa reaksi hipersensitivitas biasa terjadidi daerah-daerah ini. Sel mast memiliki granula sitoplasmic yang berisikan berbagai macam mediator aktif. Sel mast dapat teraktivasi oleh ikatan silang dari IgE Fc receptor yang mempunya afinitas tinggi; sel mast juga dapat teraktivasi oleh komplemen seperti C5a dan C3a (disebut sebagai anaphylatoxin karena dapat menimbulkan reaksi seperti anaphylaxis), reaksinya dengan mengikat pada reseptor di membran sel mast. Basofil hampir sama dengan sel mast dilihat dari reseptor dan granula sitoplasmiknya. Bedanya dengan sel mast adalah basofil tersebar di sirkulasi darah. Reaksi yang diperankan oleh basofil dari hipersensitivitas ini masih belum diketahui jelas yang pasti basofil akan tertarik ke daerah inflamasi akibat dari granulasi sel mast.
                        Sel TH2 memiliki peran utama dalam menginisiasi reaksi hipersensitivitas immediate ini dengan menstimulasi produksi IgE dan mempromosikan inflmasi. Sel TH2 muncul karena adanya presentasi dari antigen dengan sel T helper CD4+, mungkin oleh sel dentritik yang menangkap antigen dari tempat awal masuknya. Respon yang ditimbulkan akibat dari antigen dan stimuli lain, termasuk sitokin (IL4), sel T akan berdiferensiasi menjadi sel TH2. Sel TH2 akan memproduksi sitokin dalam jumlah besar (IL4, IL5, dan IL13). IL4 akan bereaksi terhadap sel B untuk menstimulasi produksi dari IgE dan mempromosikan lebih banyak lagi sel TH2. IL5 akan terlibat dalam perkembangan dan pengaktivasian eosinofil, yang merupakan efektor penting dalam hipersensitivitas ini. Efek dari IL13 adalah meningkatkan produksi IgE dan menstimulasi produksi mukus pada sel epitel. Sel TH2 juga memproduksi kemokin yang dapat menarik sel TH2 lebih banyak dan leukosit lain kedalam situs reaksinya.

                        Sel mast dan basofil memiliki reseptor dengan afinitas tinggi yang disebut FceRI, yang speseifik terhadap IgE dan secara aktif berikattan dengan antibodi IgE. Pertamakali, antigen (alergen) akan berikatan dengan antibodi IgE, lalu IgE akan melekat pada sel mast. Ikatan IgE dengan reseptor Fce akan mengaktivasi sinyal transduksi ke sitoplasma sel mast. Sinyal ini akan menyebabkan sel mast berdegranulasi yang akan mengakibatkan pelepasan mediator aktif yang ada di granula sel mast. Mediator-mediator inilah yang bertanggung jawab terhadap munculnya gejala-gejala hipersensitivitas immediate ini, dan menyebabkan akan terjadinya reaksi fase-lambat dari hipersensitivitas ini.
            Sel mast dan basofil pertama kali dikemukakan oleh Paul Ehrlich lebih dari 100 tahun yang lalu. Sel ini mempunyai gambaran granula sitoplasma yang mencolok. Pada saat itu sel mast dan basofil belum diketahui fungsinya. Beberapa waktu kemudian baru diketahui bahwa sel-sel ini mempunyai peran penting pada reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi tipe I) melalui mediator yang dikandungnya, yaitu histamin dan zat peradangan lainnya.
            Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi reaksi anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk terjadinya suatu reaksi selular yang berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE spesifik yang berikatan dengan reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan alergen yang bersangkutan.
            Proses aktivasi sel mast terjadi bila IgE atau reseptor spesifik yang lain pada permukaan sel mengikat anafilatoksin, antigen lengkap atau kompleks kovalen hapten-protein. Proses aktivasi ini akan membebaskan berbagai mediator peradangan yang menimbulkan gejala alergi pada penderita, misalnya reaksi anafilaktik terhadap penisilin atau gejala rinitis alergik akibat reaksi serbuk bunga.
            Reaksi anafilaktoid terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran IgE. Sebagai contoh misalnya reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat kontras atau akibat anafilatoksin yang dihasilkan pada proses aktivasi komplemen (lihat bab mengenai komplemen).
            Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A = eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis). Zat ini merupakan salah satu dari preformed mediators yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast selain histamin dan faktor kemotaktik neutrofil (NCF = neutrophil chemotactic factor). Mediator yang terbentuk kemudian merupakan metabolit asam arakidonat akibat degranulasi sel mast yang berperan pada reaksi tipe I.
Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu fase cepat dan fase lambat.
1.    Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat
Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat biasanya terjadi beberapa menit setelah pajanan antigen yang sesuai. Reaksi ini dapat bertahan dalam beberapa jam walaupun tanpa kontak dengan alergen lagi. Setelah masa refrakter sel mast dan basofil yang berlangsung selama beberapa jam, dapat terjadi resintesis mediator farmakologik reaksi hipersensitivitas, yang kemudian dapat responsif lagi terhadap alergen.
2.    Reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat
Mekanisme terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat ini belum jelas benar diketahui. Ternyata sel mast masih merupakan sel yang menentukan terjadinya reaksi ini seperti terbukti bahwa reaksi alergi tipe lambat jarang terjadi tanpa didahului reaksi alergi fase cepat. Sel mast dapat membebaskan mediator kemotaktik dan sitokin yang menarik sel radang ke tempat terjadinya reaksi alergi. Mediator fase aktif dari sel mast tersebut akan meningkatkan permeabilitas kapiler yang meningkatkan sel radang.








            Limfosit mungkin memegang peranan dalam timbulnya reaksi alergi fase lambat dibandingkan dengan sel mast. Limfosit dapat melepaskan histamin releasing factor dan sitokin lainnya yang akan meningkatkan pelepasan mediator-mediator dari sel mast dan sel lain.
            Eosinofil dapat memproduksi protein sitotoksik seperti major basic protein (MBP) afau eosinophil cationic protein (ECP). Makrofag dan neutrofil melepas faktor kemotaktik, sitokin, oksigen radikal bebas, serta enzim yang berperan di dalam peradangan. Neutrofil adalah sel yang pertama berada pada infiltrat peradangan setelah reaksi alergi fase cepat dalam keadaan teraktivasi yang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan jaringan dan menarik sel lain, terutama eosinofil.
Mediator yang sudah ada dalam granula sel mast
Terdapat 3 jenis mediator yang penting yaitu histamin, eosinophil chemotactic factor of anaphylactic (ECF-A), dan neutrophil chemoctatic factor (NCF)
1.    Histamin
                        Histamin dibentuk dari asam amino histidin dengan perantaraan enzim histidin dekarboksilase. Setelah dibebaskan, histamin dengan cepat dipecah secara enzimatik serta berada dalam jumlah kecil dalam cairan jaringan dan plasma. Kadar normal dalam plasma adalah kurang dari 1 ng/μL akan tetapi dapat meningkat sampai 1-2 ng/μL setelah uji provokasi dengan alergen. Gejala yang timbul akibat histamin dapat terjadi dalam beberapa menit berupa rangsangan terhadap reseptor saraf iritan, kontraksi otot polos, serta peningkatan permeabilitas vaskular.
                        Manifestasi klinis pada berbagai organ tubuh bervariasi. Pada hidung timbul rasa gatal, hipersekresi dan tersumbat. Histamin yang diberikan secara inhalasi dapat menimbulkan kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi. Gejala kulit adalah reaksi gatal berupa wheal and flare, dan pada saluran cerna adalah hipersekresi asam lambung, kejang usus, dan diare. Histamin mempunyai peran kecil pada asma, karena itu antihistamin hanya dapat mencegah sebagian gejala alergi pada mata, hidung dan kulit, tetapi tidak pada bronkus.

                        Kadar histamin yang meninggi dalam plasma dapat menimbulkan gejala sistemik berat (anafilaksis). Histamin mempunyai peranan penting pada reaksi fase awal setelah kontak dengan alergen (terutama pada mata, hidung dan kulit). Pada reaksi fase lambat, histamin membantu timbulnya reaksi inflamasi dengan cara memudahkan migrasi imunoglobulin dan sel peradangan ke jaringan. Fungsi ini mungkin bermanfaat pada keadaan infeksi. Fungsi histamin dalam keadaan normal saat ini belum banyak diketahui kecuali fungsi pada sekresi lambung. Diduga histamin mempunyai peran dalam regulasi tonus mikrovaskular. Melalui reseptor H2 diperkirakan histamin juga mempunyai efek modulasi respons beberapa sel termasuk limfosit.
2.    Faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A)
                        Mediator ini mempunyai efek mengumpulkan dan menahan eosinofil di tempat reaksi radang yang diperan oleh IgE (alergi). ECF-A merupakan tetrapeptida yang sudah terbentuk dan tersedia dalam granulasi sel mast dan akan segera dibebaskan pada waktu degranulasi (pada basofil segera dibentuk setelah kontak dengan alergen).
                        Mediator lain yang juga bersifat kemotaktik untuk eosinofil ialah leukotrien LTB4 yang terdapat dalam beberapa hari. Walaupun eosinofilia merupakan hal yang khas pada penyakit alergi, tetapi tidak selalu patognomonik untuk keterlibatan sel mast atau basofil karena ECF-A dapat juga dibebaskan dari sel yang tidak mengikat IgE.
3.    Faktor kemotaktik neutrofil (NCF)
                        NCF (neutrophyl chemotactic factor) dapat ditemukan pada supernatan fragmen paru manusia setelah provokasi dengan alergen tertentu. Keadaan ini terjadi dalam beberapa menit dalam sirkulasi penderita asma setelah provokasi inhalasi dengan alergen atau setelah timbulnya urtikaria fisik (dingin, panas atau sinar matahari). Oleh karena mediator ini terbentuk dengan cepat maka diduga ia merupakan mediator primer. Mediator tersebut mungkin pula berperan pada reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat yang akan menyebabkan banyaknya neutrofil di tempat reaksi. Leukotrien LTB4 juga bersifat kemotaktik terhadap neutrofil.


B.    HIPERSENSITIVITAS TIPE II
                        Reaksi hipersensitifitas tipe II disebut juga dengan reaksi sitotoksik, atau sitolisis. Reaksi ini melibatkan antibodi IgG dan IgM yang bekerja pada antigen yang terdapat di permukaan sel atau jaringan tertentu. Antigen yang berikatan di sel tertentu bisa berupa mikroba atau molekul kecil lain (hapten). Ketika pertama kali datang, antigen tersebut akan mensensitisasi sel B untuk menghasilkan antibodi IgG dan IgM. Ketika terjadi pemaparan berikutnya oleh antigen yang sama di permukaan sel sasaran, IgG dan IgM ini akan berikatan dengan antigen tersebut. Ketika sel efektor (seperti makrofag, netrofil, monosit, sel T cytotoxic ataupun sel NK) mendekat, kompleks antigen-antibodi di permukaan sel sasaran tersebut akan dihancurkan olehnya. Hal ini mungkin dapat menyebabkan kerusakan pada sel sasaran itu sendiri, sehingga itulah kenapa reaksi ini disebut reaksi sitotoksik atau sitolisis.












            Prosesnya ada 2 jenis mekanisme yang mungkin, yaitu :
1.      Proses sitolisis oleh sel efektor. Antibodi IgG/IgM yang melekat dengan antigen sasaran, jika dihinggapi sel efektor, ia (antibodi) akan berinteraksi dengan reseptor Fc yang terdapat di permukaan sel efektor itu. Akibatnya, sel efektor melepaskan semacam zat toksik yang akan menginduksi kematian sel sasaran. Mekanisme ini disebut ADCC (Antibody Dependent Cellular Cytotoxicity).

Mekanisme reaksi Hipersensitivitas Tipe II melalui jalur Antibody Dependent Cellular Cytotoxicity (ADCC)









2.      Proses sitolisis oleh komplemen. Kompleks antigen-antibodi di permukaan sel sasaran didatangi oleh komplemen C1qrs, berikatan dan merangsang terjadinya aktivasi komplemen jalur klasik yang akan berujung kepada kehancuran sel.
Mekanisme reaksi Hipersensitivitas Tipe II melalui jalur aktifitas komplemen
















C.   HIPERSENSITIVITAS TIPE III
            Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun adalah reaksi yang terjadi bila kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam jaringan atau sirkulasi atau dinding pembuluh darah dan mengaktifkan komplemen. Antibodi yang bisa digunakan sejenis IgM atau IgG sedangkan komplemen yang diaktifkan kemudian melepas faktor kemotatik makrofag. Faktor kemotatik yang ini akan menyebabkan pemasukan leukosit-leukosit PMN yang mulai memfagositosis kompleks-kompleks imun. Reaksi ini juga mengakibatkan pelepasan zat-zat ekstraselular yang berasal dari granula-granula polimorf, yakni berupa enzim proteolitik, dan enzim-enzim pembentukan kinin.
            Namun, kadang-kadang, kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau antigen (spora fungi, bahan sayuran, atau hewan) yang persisten akan membuat tubuh secara otomatis memproduksi antibodi terhadap senyawa asing tersebut sehingga terjadi pengendapan kompleks antigen-antibodi secara terus-menerus. Hal ini juga terjadi pada penderita penyakit autoimun. Pengendapan kompleks antigen-antibodi tersebut akan menyebar pada membran sekresi aktif dan di dalam saluran kecil sehingga dapat memengaruhi beberapa organ seperti kulit, ginjal, paru-paru, sendi, atau dalam bagian koroid pleksus otak.

                        Penyebab reaksi hipersensitivitas tipe III yang terjadi terdiri dari : 
1.    Infeksi persisten
Pada infeksi ini terdapat antigen mikroba, dimana tempat kompleks mengendap adalah organ yang diinfektif dan ginjal.
2.    Autoimunitas
Pada reaksi ini terdapat antigen sendiri, dimana tempat kompleks mengendap adalah ginjal, sendi, dan pembuluh darah.
3.    Ekstrinsik
Pada reaksi ini, antigen yang berpengaruh adalah antigen lingkungan. Dimana tempat kompleks yang mengendap adalah paru.





                        Pada reaksi ini, antigen yang berpengaruh adalah antigen lingkungan. Dimana tempat kompleks yang mengendap adalah paru.Reaksi hipersensitivitas tipe III sebagai bentuk penggabungan bentuk antigen dan antibodi dalam tubuh akan mengakibatkan reaksi peradangan akut. Jika komplemen diikat, anafilaktoksin akan dilepaskan sebagai hasil pemecahan C3 dan C5 dan ini akan menyebabkan pelepasan histamin serta perubahan permeabilitas pembuluh darah. Faktor-faktor kemotaktik juga dihasilkan, ini akan menyebabkan pemasukan leukosit-leukosit PMN yang mulai menfagositosis kompleks-kompleks imun. Deretan reaksi diatas juga mengakibatkan pelepasan zat-zat ekstraselular yang berasal dari granula-granula polimorf yakni berupa enzim-enzim proteolitik (termasuk kolagenase dan protein-protein netral), enzim-enzim pembentukan kinin protein-protein polikationik yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah melalui mekanisme mastolitik atau histamin bebas. Hal ini akan merusak jaringan setempat dan memperkuat reaksi peradangan yang ditimbulkan.
                        Kerusakan lebih lanjut dapat disebabkan oleh reaksi lisis dimana C567 yang telah diaktifkan menyerang sel-sel disekitarnya dan mengikat C89. Dalam keadaan tertentu, trombosit akan menggumpal dengan dua konsekuensi, yaitu menjadi sumber yang menyediakan zat-zat amina vasoaktif dan juga membentuk mikrotrombi yang dapat mengakibatkan iskemia setempat.
                        Kompleks antigen-antibodi dapat mengaktifkan beberapa sistem imun sebagai berikut :
1.      Aktivasi komplemen
2.      Melepaskan anafilaktoksin (C3a,C5a) yang merangsang mastosit untuk melepas histamine
3.      Melepas faktor kemotaktik (C3a,C5a,C5-6-7) mengerahkan polimorf yang melepas enzim proteolitik dan enzim polikationik
4.      Menimbulkan agregasi trombosit
5.      Menimbulkan mikrotrombi
6.      Melepas amin vasoaktif
7.      Mengaktifkan makrofag
8.      Melepas IL-1 dan produk lainnya




            Pada hipersensitivitas tipe III terdaapt dua bentuk reaksi, yaitu :
1.            Reaksi Arthus
                        Maurice Arthus menemukan bahwa penyuntikan larutan antigen secara intradermal pada kelinci yang telah dibuat hiperimun dengan antibodi konsentrasi tinggi akan menghasilkan reaksi eritema dan edema, yang mencapai puncak setelah 3-8 jam dan kemudian menghilang. Lesi bercirikan adanya peningkatan infiltrasi leukosit-leukosit PMN. Hal ini disebut fenomena Arthus yang merupakan bentuk reaksi kompleks imun. Reaksi Arthus di dinding bronkus atau alveoli diduga dapat menimbulkan reaksi asma lambat yang terjadi 7-8 jam setelah inhalasi antigen.
                        Reaksi Arthus ini biasanya memerlukan antibodi dan antigen dalam jumlah besar. Antigen yang disuntikkan akan memebentuk kompleks yang tidak larut dalam sirkulasi atau mengendap pada dinding pembuluh darah. Bila agregat besar, komplemen mulai diaktifkan. C3a dan C5a yang terbentuk meningkatkan permeabilitas pembuluh darah menjadi edema. Komponen lain yang bereperan adalah fakor kemotaktik. Neutrofil dan trombosit mulai menimbun di tempat reaksi dan menimbulkan stasisi dan obstruksi total aliran darah. Neutrofil yang diaktifkan memakan kompleks imun dan bersama dengan trombosit yang digumpalkan melepas berbagai bahan seperti protease, kolagenase, dan bahan vasoaktif.
2.            Reaksi serum sickness
                        Istilah ini berasal dari pirquet dan Schick yang menemukannya sebagai konsekuensi imunisasi pasif pada pengobatan infeksi seperti difteri dan tetanus dengan antiserum asal kuda. Penyuntikan serum asing dalam jumlah besar digunakan untuk bermacam-macam tujuan pengobatan. Hal ini biasanya akan menimbulkan keadaan yang dikenal sebagai penyakit serum kira-kira 8 hari setelah penyuntikan. Pada keadaan ini dapat dijumpai kenaikan suhu, pembengkakan kelenjar-kelenjar limpa, ruam urtika yang tersebar luas, sendi-sendi yang bengkak dan sakit yang dihubungkan dengan konsentrasi komplemen serum rendah, dan mungkin juga ditemui albuminaria sementara.





                        Pada berbagai infeksi, atas dasar yang belum jelas, dibentuk Ig yang kemudian memberikan reaksi silang dengan beberapa bahan jaringan normal. Hal ini kemudian yang menimbulkan reaksi disertai dengan komplek imun. Contoh dari reaksi ini adalah :
1.     Demam reuma
      Infeksi streptococ golongan A dapat menimbulkan inflamasi dan kerusakan jantung, sendi, dan ginjal. Berbagai antigen dalam membran streptococ bereaksi silang dengan antigen dari otot jantung, tulang rawan, dan membran glomerulus. Diduga antibodi terhadap streptococ mengikat antigen jaringan normal tersebut dan mengakibatkan inflamasi.
2.     Artritis rheumatoid
      Kompleks yang dibentuk dari ikatan antara faktor rheumatoid (anti IgG yang berupa IgM) dengan Fc dari IgG akan menimbulkan inflamasi di sendi dan kerusakan yang khas.
3.     Infeksi lain
      Pada beberapa penyakit infeksi lain seperti malaria dan lepra, antigen mengikat Ig dan membentuk kompleks imun yang ditimbun di beberapa tempat.
4.     Farmer’s lung
      Pada orang yang rentan, pajanan terhadap jerami yang mengandung banyak spora actinomycete termofilik dapat menimbulkan gangguan pernafasan pneumonitis yang terjadi 6-8 jam setelah pajanan. Pada tubuh orang tersebut, diproduksi banyak IgG yang spesifik terhadap actynomycete termofilik dan membentuk kompleks antigen-antibodi yang mengendap di paru-paru.










Mekanisme reaksi Hipersensitivitas Tipe III (Imun Kompleks)















D.   HIPERSENSITIVITAS TIPE IV
            Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan III yang berperan adalah antibodi (imunitas humoral), sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau dikenal sebagai imunitas seluler. Imunitas selular merupakan mekanisme utama respons terhadap berbagai macam mikroba, termasuk patogen intrasel seperti Mycobacterium tuberculosis dan virus, serta agen ekstrasel seperti protozoa, fungi, dan parasit. Namun, proses ini juga dapat mengakibatkan kematian sel dan jejas jaringan, baik akibat pembersihan infeksi yang normal ataupun sebagai respons terhadap antigen sendiri (pada penyakit autoimun). Hipersensitivitas tipe IV diperantarai oleh sel T tersensitisasi secara khusus bukan antibodi dan dibagi lebih lanjut menjadi dua tipe dasar :
1.    hipersensitivitas tipe lambat, diinisiasi oleh sel T CD4+
2.    sitotoksisitas sel langsung, diperantarai olehsel T CD8+.
                        Pada hipersensitivitas tipe lambat, sel T CD4+ tipe TH1 menyekresi sitokin sehingga menyebabkan adanya perekrutan sel lain, terutama makrofag, yang merupakan sel efektor utama. Pada sitotoksisitas seluler, sel T CD8+ sitoksik menjalankan fungsi efektor.
Hipersensitivitas tipe lambat (DTH-Delayed-Tipe Hypersensitivity)
                        Contoh klasik DTH adalah reaksi tuberkulin. Delapan hingga 12 jam setelah injeksi tuberkulin intrakutan, muncul suatu area eritema dan indurasi setempat, dan mencapai puncaknya (biasanya berdiameter 1 hingga 2 cm) dalam waktu 24 hingga 72 jam (sehingga digunakan kata sifat delayed [lambat/ tertunda]) dan setelah itu akan mereda secara perlahan.secara histologis , reaksi DTH ditandai dengan penumpukan sel helper-T CD4+ perivaskular (“seperti manset”) dan makrofag dalam jumlah yang lebih sedikit. Sekresi lokal sitokin oleh sel radang mononuklear ini disertai dengan peningkatan permeabilitas mikrovaskular, sehingga menimbulkan edema dermis dan pengendapan fibrin; penyebab utama indurasi jaringan dalam respons ini adalah deposisi fibrin. Respons tuberkulin digunakan untuk menyaring individu dalam populasi yang pernah terpejan tuberkulosis sehingga mempunyai sel T memori dalam sirkulasi. Lebih khusus lagi, imunosupresi atau menghilangnya sel T CD4+ (misalnya, akibat HIV) dapat menimbulkan respons tuberkulin yang negatif, bahkan bila terdapat suatu infeksi yang berat.

                        Limfosit CD4+ mengenali antigen peptida dari basil tuberkel dan juga antigen kelas II pada permukaan monosit atau sel dendrit yang telah memproses antigen mikobakterium tersebut. Proses ini membentuk sel CD4+ tipe TH1 tersensitisasi yang tetap berada di dalam sirkulasi selama bertahun-tahun. Masih belum jelas mengapa antigen tersebut mempunyai kecendurungan untuk menginduksi respons TH1, meskipun lingkungan sitokin yang mengaktivasi sel T naïf tersebut tampaknya sesuai. Saat dilakukan injeksi kutan tuberkulin berikutnya pada orang tersebut, sel memori memberikan respons kepada antigen yang telah diproses pada APC dan akan diaktivasi (mengalami transformasi dan proliferasi yang luar biasa), disertai dengan sekresi sitokin TH1. Sitokin TH1 inilah yang akhirnya bertanggungjawab untuk mengendalikan perkembangan respons DHT. Secara keseluruhan, sitokin yang paling bersesuaian dalam proses tersebut adalah sebagai berikut :
1.    IL-12 merupakan suatu sitokin yang dihasilkan oleh makrofag setelah interaksi awal dengan basil tuberkel. IL-12 sangat penting untuk induksi DTH karena merupakan sitokin utama yang mengarahkan diferensiasi sel TH1; selanjutnya, sel TH1 merupakan sumber sitokin lain yang tercantum di bawah. IL-12 juga merupakan penginduksi sekresi IFN-γ oleh sel T dan sel NK yang poten.
2.    IFN-γ mempunyai berbagai macam efek dan merupakan mediator DTH yang paling penting. IFN-γ merupakan aktivator makrofag yang sangat poten, yang meningkatkan produksi makrofag IL-12. Makrofag teraktivasi mengeluarkan lebih banyak molekul kelas II pada permukaannya sehingga meningkatkan kemampuan penyajian antigen. Makrofag ini juga mempunyai aktivitas fagositik dan mikrobisida yang meningkat, demikian pula dengan kemampuannya membunuh sel tumor. Makrofag teraktivasi menyekresi beberapa faktor pertumbuhan polipeptida, termasuk faktor pertumbuhan yang berasal dari trombosit (PDGF) dan TGF-α, yang merangsang proliferasi fibroblas dan meningkatkan sintesis kolagen. Secara ringkas, aktivitas IFN-γ meningkatkan kemampuan makrofag untuk membasmi agen penyerangan; jika aktivasi makrofag terus berlangsung, akan terjadi fibrosis.
3.    IL-2 menyebabkan proliferasi sel T yang telah terakumulasi pada tempat DTH. Yang termasuk dalam infiltrat ini adalah kira-kira 10% sel CD4+ yang antigen-spesifik, meskipun sebagian besar adalah sel T “penonton” yang tidak spesifik untuk agen penyerang asal.
4.    TNF dan limfotoksin adalah sitokin yang menggunakan efek pentingnya pada sel endotel:
a.            meningkatnya sekresi nitrit oksida dan prostasiklin, yang membantu peningkatan aliran darah melalui vasodilatasi local
b.            meningkatnya pengeluaran selektin-E, yaitu suatu molekul adhesi yang meningkatkan perlekatan sel mononuclear
c.            induksi dan sekresi faktor kemotaksis seperti IL-8. Perubahan ini secara bersama memudahkan keluarnya limfosit dan monosit pada lokasi terjadinya respon DHT.

                        Granulomatosa adalah bentuk khusus DHT yang terjadi pada saat antigen bersifat persisten dan/ atau tidak dapat didegradasi. Infiltrate awal sel T CD4+ perivaskular secara progresif digantikan oleh makrofag dalam waktu 2 hingga 3 minggu; makrofag yang terakumulasi ini secara khusus menunjukkan bukti morfologis adanya aktivitas, yaitu semakin membesar , memipih, dan eosinofilik (disebut sebagai sel epiteloid). Sel epiteloid kadang-kadang bergabung di bawah pengaruh sitokin tertentu (misalnya, IFN-γ) untuk membentuk suatusel raksasa(giant cells) berinti banyak. Suatu agregat mikroskopis sel epiteloid secara khusus dikelilingi oleh lingkaran limfosit, yang disebutgranuloma, dan polanya disebut sebagai inflamasi granulomatosa. Pada dasarnya, proses tersebur sama dengan proses yang digambarkan untuk respons DHT lainnya. Granuloma yang lebih dahulu terbentuk membentuk suatu sabuk rapat fibroblast dan jaringan ikat. Pengenalan terhadap suatu granuloma mempunyai kepentingan diagnostik karena hanya ada sejumlah kecil kondisi yang dapat menyebabkannya.

                        DHT merupakan suatu mekanisme pertahanan utama yang melawan berbagai patogen intrasel, yang meliputi mikobakterium, fungus, dan parasit tertentu, dan dapat pula terlibat dalam penolakan serta imunitas tumor. Peran utama sel T CD4+ dalam hipersensitivitas tipe lambat tampak jelas pada penderita AIDS. Karena kehilangan sel CD4+, respons penjamu terhadap patogen ekstrasel, seperti Mycobacterium tuberculosis, akan sangat terganggu. Bakteri akan dimangsa oleh makrofag, tetapi tidak dibunuh, dan sebagai pengganti pembentukan granuloma, terjadi akumulasi makrofag yang tidak teraktivasi yang sulit untuk mengatasi mikroba yang menginvasi.

                        Selain bermanfaat karena peran protektifnya, DHT dapat pula menyebabkan suatu penyakit. Dermatitis kontak adalah salah satu contoh jejas jaringan yang diakibatkan oleh hipersensitivitas lambat. Penyakit ini dibangkitkan melalui kontak dengan pentadesilkatekol (juga dikenal sebagai urushiol, komponen aktif poison ivy atao poisin oak) pada penjamu yang tersensitisasi dan muncul sebagai suatu dermatitis vesikularis. Mekanisme dasarnya sama dengan mekanisme pada sensitivitas tuberculin. Pajanan ulang terhadap tanaman tersebut, sel CD4+ TH1 tersensitisasi akan berakumulasi dalam dermis dan bermigrasi menuju antigen yag berada di dalam epidermis. Di tempat ini sel tersebut melepaskan sitokin yang merusak keratinosit, menyebabkan terpisahnya sel ini dan terjadi pembentukan suatu vesikel intradermal.

Sitotoksisitas Yang Diperantarai Sel T
                        Pada pembentukan hipersensitivitas tipe IV ini, sel T CD8+ tersensitisasi membunuh sel target yang membawa antigen. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, molekul MHC tipe I berikatan dengan peptida virus intrasel dan menyajikannya pada limfosit T CD8+. Sel efektor CD8+, yang disebut limfosit T sitotoksik (CTL, cytotoxic T-lymphocytes), yang berperan penting dalam resistensi terhadap infeksi virus. Pelisisan sel terinfeksi sebelumnya terjadi replikasi virus yang lengkap pada akhirnya menyebabkan penghilangan infeksi. Diyakini bahwa banyak peptida yang berhubungan dengan tumor muncul pula pada permukaan sel tumor sehingga CTL dapat pula terlibat dalam imunitas tumor.
                        Telah terlihat adanya dua mekanisme pokok pembunuhan oleh sel CTL: (1) pembunuhan yang bergantung pada perforin-granzim dan (2) pembunuhan yang bergantung pada ligan Fas- Fas. Perforin dan granzim adalah mediator terlarut yang terkandung dalam granula CTL, yang menyerupai lisosom. Sesuai dengan namanya, perforin melubangi membran plasma pada sel target; hal tersebut dilakukan dengan insersi dan polimerisasi molekul perforin untuk membentuk suatu pori. Pori-pori ini memungkinkan air memasuki sel dan akhirnya menyebabkan lisi osmotik. Granula limfosit juga mengandung berbagai protease yang disebut dengangranzim, yang dikirimkan ke dalam sel target melalui pori-pori perforin. Begitu sampai ke dalam sel, granzim mengaktifkan apoptosis sel target. CTL teraktivasi juga mengeluarkan ligan Fas (suatu molekul yang homolog dengan TNF), yang berikatan dengan Fas pada sel target. Interaksi ini menyebabkan apoptosis. Selain imunitasvirus dan tumor, CTL yang diarahkann untuk melawan antigen histokompatibilitas permukaan sel juga berperan penting dalam penolakan
Ada 4 jenis reaksi hipersensitivitas tipe IV yaitu :
1.      Hipersensitivitas Jones Mole (Reaksi JM)
                        Reaksi JM ditandai oleh adanya infiltrasi basofil di bawah epidermis. Hal tersebut biasanya ditimbulkan oleh antigen yang larut dan disebabkan oleh limfosit yang peka terhadap siklofosfamid. Reaksi JM atau Cutaneous Basophil Hypersensitivity (CBH) merupakan bentuk CMI yang tidak biasa dan telah ditemukan pada manusia sesudah suntikan antigen intradermal yang berulang-ulang. Reaksi biasanya terjadi sesudah 24 jam tetapi hanya berupa eritem tanpa indurasi yang merupakan ciri dari CMI. Eritem itu terdiri atas infiltrasi sel basofil. Mekanisme sebenarnya masih belum diketahui. Kelinci yang digigit tungau menunjukkan reaksi CBH yang berat di tempat tungau menempel. Basofil kemudian melepas mediator yang farmakologik aktif dari granulanya yang dapat mematikan dan melepaskan tungau tersebut. Basofil telah ditemukan pula pada dermatitis kontak yang disebabkan allergen seperti poison ivy penolakan ginjal dan beberapa bentuk konjungtivitis. Hal-hal tersebut di atas menunjukkan bahwa basofil mempunyai peranan dalam penyakit hipersensitivitas.
2. Hipersensitivitas Kontak dan dermatitis kontak
                        Dermatitis kontak dikenal dalam klinik sebagai dermatitis yang timbul pada titik tempat kontak dengan alergen. Reaksi maksimal terjadi setelah 48 jam dan merupakan reaksi epidermal. Sel Langerhans sebagai Antigen Presenting Cell (APC) memegang peranan pada reaksi ini. Innokulasi (penyuntikkan) melalui kulit, cenderung untuk merangsang perkembangan reaksi sel-T dan reaksi-reaksi tipe lambat yang sering kali disebabkan oleh benda-benda asing yang dapat mengadakan ikatan dengan unsur-unsur tubuh untuk membentuk antigen-antigen baru. Oleh karena itu, hipersensitivitas kontak dapat terjadi pada orang-orang yang menjadi peka karena pekerjaan yang berhubungan dengan bahan-bahan kimia seperti prikil klorida dan kromat. Kontak dengan antigen mengakibatkan ekspansi klon sel-T yang mampu mengenal antigen tersebut dan kontak ulang menimbulkan respon seperti yang terjadi pada CMI. Kelainan lain yang terjadi ialah pelepasan sel epitel (spongiosis) menimbulkan infiltrasi sel efektor. Hal ini menimbulkan dikeluarkannya cairan dan terbentuknya gelembung.



3.      Reaksi Tuberkulin
                        Reaksi tuberculin adalah reaksi dermal yang berbeda dengan reaksi dermatitis kontak dan terjadi 20 jam setelah terpajan dengan antigen. Reaksi terdiri atas infiltrasi sel mononuklier (50% limfosit dan sisanya monosit). Setelah 48 jam timbul infiltrasi limfosit dalam jumlah besar di sekitar pembuluh darah yang merusak hubungan serat-serat kolagen kulit. Dalam beberapa hal antigen dimusnahkan dengan cepat sehinga menimbulkan kerusakan. Dilain hal terjadi hal-hal seperti yang terlihat sebagai konsekuensi CMI. Kelainan kulit yang khas pada penyakit cacar, campak, dan herpes ditimbulkan oleh karena CMI terhadap virus ditambah dengan kerusakan sel yang diinfektif virus oleh sel-Tc.
4.      Reaksi Granuloma
                        Menyusul respon akut terjadi influks monosit, neutrofil dan limfosit ke jaringan. Bila keadaan menjadi terkontrol, neutrofil tidak dikerahkan lagi berdegenerasi. Selanjutnya dikerahkan sel mononuklier. Pada stadium ini, dikerahkan monosit, makrofak, limfosit dan sel plasma yang memberikan gambaran patologik dari inflamasi kronik



Mekanisme reaksi Hipersensitivitas Tipe IV atau reaksi yang diperantarai sel

Tidak ada komentar: